Sekitar 13 abad yang
lalu Tapanuli Bagian Selatan telah terbuka terhadap pengaruh luar. Prasasti Kedukan Bukit (682 M) antara lain
memberi petunjuk keterbukaan tersebut.
Dalam teks prasasti tersebut terdapat toponim Minanga Tamvan yang ditafsirkan oleh Prof.Dr. Slamet bahwa,
Binanga dahulu kala berada di garis Selat Malaka di daerah aliran Batang Barumun yang merupakan tempat
penting dalam dunia perdagangan. Pada
abad tersebut Binanga adalah sebagai kota dagang di jalur perdagangan
internasional Selat Malaka. Wilayah ini
menjadi daerah taklukan Sriwijaya ketika itu.
Kemudian dalam prasasti
Tanjore (1030 M) juga disebutkan bahwa kawasan Tapanuli Bagian Selatan pernah
menjadi ajang peperangan dengan Rajendra Cola Dewa dari India Selatan. Bukti-bukti sejarah mengisyaratkan bahwa
kawasan ini memang benar-benar pernah menjadi pusat perdagangan sekaligus pusat
ilmu pengetahuan, kebudayaan, agama Budha dan Hindu. Beberapa bukti sampai saat
ini masih dapat disaksikan berupa peninggalan barang-barang purbakala di
seluruh wilayah Tapanuli Bagian Selatan, terutama di kawasan timur
sepanjang daerah aliran sungai Batang
Pane, Batang Barumun, Aek Sirumambe berupa candi-candi. Dahulu kala sungai-sungai besar seperti
Batang Barumun, Batang Pane dapat dilayari dari muaranya di Selat Malaka sampai
jauh masuk ke pedalaman Padang Bolak.
Candi Portibi
Sejarawan Majapahit,
Mpu Prapanca dalam karya monumentalnya Negarakertagama
bertarikh 1365 M, mencatat pada Pupuh 13
nama-nama wilayah Tapanuli Bagian Selatan seperti Pane, Mandailing dan Padang
Lawas (Pane, Mandahilin, Lwas.). Hal
ini memberikan bukti bahwa wilayah kita, telah dikenal baik oleh kerajaan
Majapahit sebagai daerah penting di
wilayah nusantara.
Selanjutnya, hal yang cukup menarik adalah
tentang analisa bahwa Perang Paderi bukanlah satu-satunya gerakan Islam yang masuk ke wilayah Tapanuli Bagian
Selatan. Setengah abad sebelum Perang
Paderi, raja-raja Natal telah membuat perjanjian dengan VOC yang isinnya menyebutkan
bahwa para raja bersumpah berdasarkan Alquran.
Pada tahun 1693 penguasa Natal telah membuat perjanjian dengan VOC yang
kemudian di perbaharui tahun 1755. Salah satu contoh
perjanjian itu adalah yang dibuat oleh Sultan Bagindo Martia Lelo pada tanggal
6 Maret 1760.dengan pihak VOC di kawasan itu bernama Moschel. Teks perjanjian tersebut antara lain berbunyi
: “…Sultan Bagindo Martia Lelo, radja’s
van land van Natal, verklaeren onder eede en zweeren by de ALCORAN, by de rook
van’t wierok en volgens onze gebruyken…” Hal ini memberikan gambaran bahwa
Islam telah berpengaruh kuat di kawasan ini lama sebelum Perang Paderi. Dan Islam masuk ke daerah Tapanuli Bagian
Selatan dari tiga penjuru, pantai timur, pantai barat dan Minangkabau dari
selatan.
Pengaruh lain yang
paling menonjol adalah penjajahan Belanda yang banyak mengubah tatanan
masyarakat. Kemudian disusul oleh
gerakan Misi Kristen yang dilaksanakan oleh Rheinische Missionsgesellschaft
(RMG) yang berpusat di Barmen Jerman. Misi ini semula ada di Sipirok, selain
mengembangkan agama Kristen juga ingin membawa pembaharuan di kawasan tersebut.
Keterbukaan dalam rentang
waktu yang lama membuat masyarakat Tapanuli Bagian Selatan punya pengalaman
yang cukup panjang dalam menjalani berbagai kultur atau idelisme, maupun
spiritual, yang kesemuanya memberikan cakrawala yang luas bagi cara berpikir
orang – orang Tapanuli Bagian Selatan.
Dengan keterbukaan
tersebut juga memberikan dorongan bagi masyakatnya untuk mengetahui keadaan
dunia luar. Salah satu contoh adalah
keberadaan orang Angkola, Sipirok, Padang Lawas dan Mandailing di
Malaysia. Mentalitas mandiri yang
dinamik ternyata diwarisi sehingga banyak diantara mereka yang menduduki posisi
penting dalam sejarah Malaysia. (Mahmulsyah Daulay : Dikompilasi dari
berbagai sumber)
Sumber Bacaan Utama :
HORJA : Adat Istiadat Dalihan Na Tolu,
Parsadaan Marga Harahap Dohot Anakboruna, 1993,Jakarta,
Sumber Gambar:
beritadaerah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar