Jumat, 23 Maret 2012

Tak di Tutur Maka Menghilang : Beberapa Penyebutan Waktu di Tapanuli Bagian Selatan Yang Semakin Jarang (2)


Pada artikel  yang pertama, focus tentang pembagaian waktu selama 24 jam, maka berikut ini pembagian waktu selama satu bulan.  Berbeda dengan nama hari dalam bahasa Arab, atau Eropa yang jumlahnya tujuh hari, atau hari pasaran di Jawa yang hanya lima hari, maka Masyarakat Batak, termasuk dalam hal ini Tapanuli Bagian Selatan, bahwa satu nama untuk satu hari dalam sebulan.  Nama-nama tersebut mengikuti peredaran bulan seperti Tabel di bawah.  Apa relevansinya dengan saat sekarang ? secara langsung tidak ada, akan tetapi dalam presfektif  khasanah budaya, penyebutan tentang aspek waktu adalah kekayaan yang pernah dimiliki oleh masyarakat kita. Tentunya sayang,  kalau anak cucu orang Tapanuli Bagaian Selatan tidak pernah mengetahuinya.

Tak di Tutur Maka Menghilang : Beberapa Penyebutan Waktu di Tapanuli Bagian Selatan Yang Semakin Jarang (1)


Menurut Studi yang baru-baru ini dilaksanakan oleh LIPI bahwa jumlah bahasa daerah yang terdapat di Indonesia berjumlah kurang lebih 750 jenis bahasa daerah.  Papua menduduki posisi pertama sebagai daerah yang paling banyak memiliki bahasa daerah, kurang lebih 200 jenis bahasa daerah. Akan tetapi di wilayah Nusa Tenggara Barat maupun Timur  di ketahui semakin banyak bahasa daerah yang hampir punah karena yang menggunakan (penutur) bahasa tersebut semakin sedikit.  Bahasa  Jawa merupakan  bahasa daerah yang paling banyak digunakan (penutur)  sekitar 76 juta orang  dan bahasa Batak menduduki posisi kelima, yang digunakan oleh sekitar 6 juta orang.


Selasa, 13 Maret 2012

Dalihan Na Tolu Sebagai Kearifan Lokal Versus Pelaksanaan Demokrasi Pada Masyarakat Tapanuli Bagian Selatan


Oleh:  Mahmulsyah Daulay

Memperhatikan judul artikel di atas, penulis bukan bermaksud mengadakan adu tanding pada dua konsep  nilai antara Dalihan Na Tolu dengan Demokrasi. Akan tetapi mencoba memahami bahwa sesungguhnya  kedua konsep tersebut  bisa menjadi penyeimbang bagi yang lain.  Dalihan Na Tolu, lahir tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat etnis Batak termasuk dalam hal ini Masyarakat Tapanuli Bagian Selatan,  yang sarat dengan nilai-nilai kekerabatan . Sedangkan demokrasi  pertama kali diperkenalkan oleh Aristoteles pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di kota Yunani Kuno khususnya Athena.  Inti dari demokrasi adalah persamaan hak dan kedudukan dari setiap warga negara di dalam sebuah negara yang demokratis.

Saat sekarang,  negeri kita tercinta Indonesia telah menjadi salah satu negara demokrasi  terbesar di dunia. Hal itu di tandai adanya kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan berpolitik. Sebagai warga negara masing-masing orang punya hak  untuk berperan aktif baik sebagai eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Pada saat yang sama Dalihan Na Tolu juga sampai saat ini masih menjadi kerangka dasar kekerabatan masyarakat Tapanuli Bagian Selatan. Hal ini kelihatan jelas dalam kehidupan sehari-hari, terutama pada acara adat horja siriaon (perkawinan dan mendirikan rumah) dan siluluton (kematian).

Kamis, 08 Maret 2012

Profil


Mahmulsyah Daulay, dilahirkan di Desa Sigalangan, Kecamatan Batang Angkola Tapanuli Selatan pada tanggal 12 September 1965.  Anak ke tiga dari empat bersaudara. Ayahanda bernama H. Mhd. Akhir Daulay,BA dan Ibunda bernama Hj. Khairani Lubis, BA.  Masa kecil dihabiskan di desa kelahiran. Usia 6 tahun  masuk SD Muhammadiyah Sigalangan (konon kabarnya sekolah ini udah tutup). Kemudian tahun 1977 dilanjutkan dengan bersekolah di SMP Negeri Sigalangan (sekarang SMPN Batang Angkola 1).  Masuk SMA Negeri 1 Padangsidempuan tahun 1981.  Setelah lulus SMA, melalui jalur PMDK di terima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1984. Selama menjalani pendidikan di IPB, telah memiliki ketertarikan terhadap  isu-isu yang berhubungan dengan kebijakan-kebijakan tentang pertanian dalam arti yang luas.

Minyak Nilam Penyumbang Devisa Di antara Minyak Atsiri, dan Potensi Pengembangannya di Tapanuli Bagian Selatan


Oleh: Mahmulsyah Daulay


Pada era  tahun 70-an  tanaman nilam pernah  booming  di wilayah Tapanuli Selatan. Jika kita melakukan perjalanan saat itu,  mulai dari daerah Kota Nopan, Panyabungan, Sayurmatinggi, Batang Angkola, sampai pada  desa-desa yang terdapat di kaki Bukit Barisan hingga perbatasan dengan Riau, akan mudah menyaksikan daun-daun nilam yang sedang di jemur di halaman rumah penduduk hingga ke penggir jalan.  Kemudian di beberapa desa diterlihat “sopo-sopo” tempat penyulingan minyak nilam yang terbuat dari beberapa drum dengan teknologi yang sederhana. Secara teknis, masyarakat saat itu tidak begitu kesulitan untuk mamahami bagaimana cara bercocok tanam dan proses penyulingan tanaman Nilam.  Penulis masih ingat saat itu,  bahwa, untuk mendapatkan bibit nilam sungguh sederhana.  Saling berbagai dengan tetangga, kerabat (hombar balok).  Petani yang lebih dulu menanam, menjadi sumber bibit bagi petani yang akan menanam kemudian. Hasil bertanam nilam yang ditandai peningkatan pendapatan,   sempat dinikmati oleh masyarakat Tapanuli Bagian Selatan pada era tersebut.