Pada artikel yang pertama, focus tentang pembagaian waktu
selama 24 jam, maka berikut ini pembagian waktu selama satu bulan. Berbeda dengan nama hari dalam bahasa Arab,
atau Eropa yang jumlahnya tujuh hari, atau hari pasaran di Jawa yang hanya lima
hari, maka Masyarakat Batak, termasuk dalam hal ini Tapanuli Bagian Selatan,
bahwa satu nama untuk satu hari dalam sebulan.
Nama-nama tersebut mengikuti peredaran bulan seperti Tabel di
bawah. Apa relevansinya dengan saat
sekarang ? secara langsung tidak ada, akan tetapi dalam presfektif khasanah budaya, penyebutan tentang aspek
waktu adalah kekayaan yang pernah dimiliki oleh masyarakat kita. Tentunya sayang, kalau anak cucu orang Tapanuli Bagaian
Selatan tidak pernah mengetahuinya.
Jumat, 23 Maret 2012
Tak di Tutur Maka Menghilang : Beberapa Penyebutan Waktu di Tapanuli Bagian Selatan Yang Semakin Jarang (1)
Menurut
Studi yang baru-baru ini dilaksanakan oleh LIPI bahwa jumlah bahasa daerah yang
terdapat di Indonesia berjumlah kurang lebih 750 jenis bahasa daerah. Papua menduduki posisi pertama sebagai daerah
yang paling banyak memiliki bahasa daerah, kurang lebih 200 jenis bahasa
daerah. Akan tetapi di wilayah Nusa Tenggara Barat maupun Timur di ketahui semakin banyak bahasa daerah yang
hampir punah karena yang menggunakan (penutur) bahasa tersebut semakin
sedikit. Bahasa Jawa merupakan bahasa daerah yang paling banyak digunakan
(penutur) sekitar 76 juta orang dan bahasa Batak menduduki posisi kelima,
yang digunakan oleh sekitar 6 juta orang.
Selasa, 13 Maret 2012
Dalihan Na Tolu Sebagai Kearifan Lokal Versus Pelaksanaan Demokrasi Pada Masyarakat Tapanuli Bagian Selatan
Oleh:
Mahmulsyah Daulay
Memperhatikan judul artikel di atas, penulis
bukan bermaksud mengadakan adu tanding pada dua konsep nilai antara Dalihan Na Tolu dengan Demokrasi. Akan tetapi mencoba memahami
bahwa sesungguhnya kedua konsep
tersebut bisa menjadi penyeimbang bagi
yang lain. Dalihan Na Tolu, lahir
tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat etnis Batak termasuk dalam
hal ini Masyarakat Tapanuli Bagian Selatan, yang sarat dengan nilai-nilai kekerabatan . Sedangkan demokrasi pertama
kali diperkenalkan oleh
Aristoteles pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di kota Yunani Kuno khususnya
Athena. Inti dari demokrasi adalah
persamaan hak dan kedudukan dari setiap warga negara di dalam sebuah negara
yang demokratis.
Saat sekarang, negeri kita tercinta Indonesia telah menjadi
salah satu negara demokrasi terbesar di
dunia. Hal itu di tandai adanya kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan
berpolitik. Sebagai warga negara masing-masing orang punya hak untuk berperan aktif baik sebagai eksekutif,
yudikatif, dan legislatif. Pada saat yang sama Dalihan Na Tolu juga sampai saat ini masih menjadi kerangka dasar
kekerabatan masyarakat Tapanuli Bagian Selatan. Hal ini kelihatan jelas dalam
kehidupan sehari-hari, terutama pada acara adat horja siriaon (perkawinan dan mendirikan rumah) dan siluluton (kematian).
Kamis, 08 Maret 2012
Profil
Mahmulsyah Daulay, dilahirkan di Desa Sigalangan,
Kecamatan Batang Angkola Tapanuli Selatan pada tanggal 12 September 1965. Anak ke tiga dari empat bersaudara. Ayahanda
bernama H. Mhd. Akhir Daulay,BA dan Ibunda bernama Hj. Khairani Lubis, BA. Masa kecil dihabiskan di desa kelahiran. Usia
6 tahun masuk SD Muhammadiyah Sigalangan
(konon kabarnya sekolah ini udah tutup). Kemudian tahun 1977 dilanjutkan dengan
bersekolah di SMP Negeri Sigalangan (sekarang SMPN Batang Angkola 1). Masuk SMA Negeri 1 Padangsidempuan tahun
1981. Setelah lulus SMA, melalui jalur
PMDK di terima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun
1984. Selama menjalani pendidikan di IPB, telah memiliki ketertarikan terhadap isu-isu yang berhubungan dengan kebijakan-kebijakan
tentang pertanian dalam arti yang luas.
Minyak Nilam Penyumbang Devisa Di antara Minyak Atsiri, dan Potensi Pengembangannya di Tapanuli Bagian Selatan
Oleh: Mahmulsyah Daulay
Pada era tahun
70-an tanaman nilam pernah booming di wilayah Tapanuli Selatan. Jika kita
melakukan perjalanan saat itu, mulai
dari daerah Kota Nopan, Panyabungan, Sayurmatinggi, Batang Angkola, sampai
pada desa-desa yang terdapat di kaki
Bukit Barisan hingga perbatasan dengan Riau, akan mudah menyaksikan daun-daun
nilam yang sedang di jemur di halaman rumah penduduk hingga ke penggir
jalan. Kemudian di beberapa desa
diterlihat “sopo-sopo” tempat penyulingan minyak nilam yang terbuat dari beberapa
drum dengan teknologi yang sederhana. Secara teknis, masyarakat saat itu tidak
begitu kesulitan untuk mamahami bagaimana cara bercocok tanam dan proses
penyulingan tanaman Nilam. Penulis masih
ingat saat itu, bahwa, untuk mendapatkan
bibit nilam sungguh sederhana. Saling
berbagai dengan tetangga, kerabat (hombar balok). Petani yang lebih dulu menanam, menjadi
sumber bibit bagi petani yang akan menanam kemudian. Hasil bertanam nilam yang
ditandai peningkatan pendapatan, sempat
dinikmati oleh masyarakat Tapanuli Bagian Selatan pada era tersebut.
Langganan:
Postingan (Atom)