(Oleh
: Mahmulsyah Daulay)
Banyak definisi yang
telah dikemukakan para ahli tentang Kearifan lokal. Salah satunya menurut
Caroline Nyamai Kisia (2010) bahwa, kearifan lokal adalah sumber pengetahuan yang
diselenggarakan secara dinamis, berkembang dan diteruskan oleh populasi
tertentu yang terintegrasi dengan pemahaman mereka terhadap alam dan budaya
sekitarnya. Kearifan lokal adalah dasar
dalam pengambilan kebijakan di level lokal dalam bidang kesehatan, pertanian,
pegelolaan sumber daya alam dan kegiatan masyarakat pedesaan.
Di “Huta Hasorangan”
(baca : Tapanuli Bagian Selatan), nilai-nilai kearifan lokal (saling membantu, perduli , saling percaya,
ikhlas) telah lama menjadi urat nadi
masyarakat dalam melakukan berbagai kegiatan di tengah-tengah
masyarakatnya. Baik itu sifatnya
sukacita maupun dukacita. Kegiatan yang sifatnya Sukacita, misalnya dalam acara
perkawaninan (horja)...semua organ
dalam masyarakat (kaum Bapak/Ibu, Pemuda/pemudi) secara suka rela turut serta
membantu agar acara perkawainan bisa
berjalan lancar. Demikian juga jika
sifatnya Dukacita...semua unsur dalam masyarakat turut terlibat, sehingga
keluarga yang berduka dapat diringankan bebannya. Bantuan berupa benda, tenaga, pikiran, yang telah diberikan oleh anggota
masyarakat “tidaklah berbayar”,
gratis. Disinilah letak nilai-nilai
agungnya yaitu “kerjasama luhur” .
Karena tiba saatnya, suatu waktu kita yang akan menerima bantuan, ulur
tangan dari tetangga handai tolan. Di era tahun 70-80 an, penulis masih
merasakan kondisi tersebut di atas, pada saat masih tinggal di Huta
Hasorangan.
Marbabo
Sumber foto : northsumatra.info
Nilai-nilai luhur
tersebut juga tergambar dalam kegiatan masyarakat pada bidang yang lain,
terutama pada bidang pertanian dalam
arti yang luas. Mengingat masyarakat kita di Tapanuli Bagian Selatan sebagian
besar memiliki mata pencaharian di sektor pertanian, maka nilai-nilai
kerjasama, saling membantu, bergotong
royong dalam mengelola pertanian sungguh sangat kental. Sehingga muncul hubungan kerjasama diantara anggota
masyarakat yang disebut “Marsialap Ari”. Esensi dari Marsialap Ari adalah bergotong
royong secara estapet untuk mengerjakan sawah atau ladang yang dimiliki oleh
masing-masing individu dalam kelompok Marsialap Ari. Jumlah anggota kelompok
sangat bervariasi, ada yang 5 orang atau bahkan lebih. Kegiatan Bergotong royong ini , bisa mulai dari pengolahan tanah (mamakkur/manajak), menanam, membersihkan
rumput (marbabo), sampai panen (manyabi), atau hanya sebagian saja,
misalnya kegiatan panen saja. Marsialap Ari merupakan salah satu bentuk karifan
lokal yang dimiliki masyarakat Tapanuli Bagian Selatan.
Dalam konteks pertanian,
Marsialap Ari memiliki peran yang sangat strategis . Marsialap Ari bisa
dianggap sebagai lembaga informal yang telah menjamin tersedianya tenaga kerja
pertanian di Tapanuli Bagian Selatan . Bisa dibayangkan jika musim tanam tiba,
akan tetapi tenaga terbatas , maka akan menghambat tahapan pengerjaan
sawah/ladang . Oleh karena itu, dengan
Marsilap Ari kendala tersebut dapat diatasi secara bersama-sama. Lebih dari pada itu, dengan Marsialap Ari akan semakin besar
kemungkinan untuk menananam secara serentak. Dengan tanam serentak tentu akan meminimalisasi potensi kerugian-kerugian oleh hama atau penyakit yang diakibatkan pola tanam yang tidak
serentak. Tentunya dengan tanam
serentak, maka distribusi air untuk musim tanam dapat lebih merata. Selanjutnya, kelompok Marsialap Ari dapat juga
difungsikan sebagai “agen perubahan” dalam rangka penyampaian
informasi-informasi baru tentang pertanian oleh para Penyuluh Pertanian
Lapangan. Melalalui pemberdayaan kelompok Marsialap Ari ini maka
para PPL dapat bekerja lebih efisien di lapangan. Kemudian kelompok Marsialap Ari bisa menjadi
cikal bakal dalam pembentukan kelompok tani-kelompok tani di Huta
Hasorangan. Jika para petani kita telah
memiliki kekuatan dan ketangguhan dalam kelompoknya, maka ketahanan pangan di
huta hasorangan akan semakin mantap.
Lubuk Larang di Mandailing Natal
Sumber Photo : mandailing online
Disadari bahwa, seiring
dengan pesatnya perkembangan teknologi dan informasi, nilai-nilai luhur atau
kearifan lokal yang ada selama ini yang ada di huta hasorangan mulai
redup. Namun, jika nilai-nilai itu
ternyata memberi maslahat yang lebih besar bagi masyarakat kita, maka
Revitalisasi nilai-nilai “Marsialap Ari” dalam bidang pertanian, harus terus dijaga keberadaannya di
tengah-tengah masyarakat kita. Lubuk Larangan di daerah Mandailing Natal
merupakan salah satu contoh kearifan lokal yang bisa dikatakan berhasil
dipertahankan.
Sebagai perbandingan,
masih terdapat beberapa kearifan lokal yang masih bertahan sampai sekarang antara lain :
1. AWIG-AWIG (Lombok
Barat dan Bali): Awig-Awig memuat aturan adat yang harus dipenuhi setiap warga
masyarakat di Lombok Barat dan Bali, dan sebagai pedoman dalam bersikap dan
bertindak terutama dalam berinteraksi dan mengelola sumberdaya alam &
lingkungan .
2. REPONG DAMAR
(Krui-Lampung Barat): Repong Damar atau hutan damar, merupakan model
pengelolaan lahan bekas lading dalam bentuk wanatani yang dikembangkan oleh
masyarakat Krui di Lampung Barat, yaitu menanami lahan bekas lading dengan
berbagai jenis tanaman, antara lain damar, kopi, karet, durian.
3. HOMPONGAN (Orang
Rimba-Jambi): Hompongan merupakan hutan belukar yang melingkupi kawasan inti
pemukiman Orang Rimba (di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi) yang
sengaja dijaga keberadaannya yang berfungsi sebagai benteng pertahanan dari
gangguan pihak luar.
4. TEMBAWAI (Dayak
Iban-Kalimantan Barat): Tembawai merupakan hutan rakyat yang dikembangkan oleh
masyarakat Dayak Iban di Kalimantan Barat, yang didalamnya terdapat tanaman
produktif, seperti durian.
5. SASI (Maluku): Sasi
merupakan aturan adat yang menjadi pedoman setiap warga masyarakat Maluku dalam
mengelola lingkungan termasuk pedoman pemanfaatan sumber daya alam.
6. PAMALI MAMANCING
IKAN (Desa Bobaneigo-Maluku Utara): Pamali Mamancing Ikan merupakan aturan adat
yaitu larangan atau boboso. Pamali Mamancing Ikab ini secara yurisdiksi
terbatas pada nilai-nilai adat, dan agama, tetapi konsep property right ini
terbentuk dari pranata sosial masyarakat yang telah berlangsung sejak lama
dalam mengatur pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut.
7. SIMPUK MUNAN/LEMBO
(Dayak Benuaq-Kalimantan Timur): Simpuk Munan atau lembo bangkak merupakan
hutan tanaman buah-buahan (agroforestry) yang dikembangkan oleh masyarakat
Dayak Benuaq di Kalimantan Timur.
(Sumber
: Kompilasi dari beberapa sumber)
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar