Rabu, 30 April 2014

Revitalisasi Kearifan Lokal untuk Kemajuan Pertanian di Tapanuli Bagian Selatan

(Oleh : Mahmulsyah Daulay)

Banyak definisi yang telah dikemukakan para ahli tentang Kearifan lokal. Salah satunya menurut Caroline Nyamai Kisia (2010) bahwa,  kearifan lokal adalah sumber pengetahuan yang diselenggarakan secara dinamis, berkembang dan diteruskan oleh populasi tertentu yang terintegrasi dengan pemahaman mereka terhadap alam dan budaya sekitarnya.  Kearifan lokal adalah dasar dalam pengambilan kebijakan di level lokal dalam bidang kesehatan, pertanian, pegelolaan sumber daya alam dan kegiatan masyarakat pedesaan.

Di “Huta Hasorangan” (baca : Tapanuli Bagian Selatan), nilai-nilai kearifan lokal (saling membantu, perduli , saling percaya, ikhlas)  telah lama menjadi urat nadi masyarakat dalam melakukan berbagai kegiatan di tengah-tengah masyarakatnya.  Baik itu sifatnya sukacita maupun dukacita. Kegiatan yang sifatnya Sukacita, misalnya dalam acara perkawaninan (horja)...semua organ dalam masyarakat (kaum Bapak/Ibu, Pemuda/pemudi) secara suka rela turut serta membantu  agar acara perkawainan bisa berjalan lancar.  Demikian juga jika sifatnya Dukacita...semua unsur dalam masyarakat turut terlibat, sehingga keluarga yang berduka dapat diringankan bebannya.  Bantuan berupa benda, tenaga, pikiran,  yang telah diberikan oleh anggota masyarakat  “tidaklah berbayar”, gratis.   Disinilah letak nilai-nilai agungnya yaitu “kerjasama luhur” .  Karena tiba saatnya, suatu waktu kita yang akan menerima bantuan, ulur tangan dari tetangga handai tolan. Di era tahun 70-80 an, penulis masih merasakan kondisi tersebut di atas, pada saat masih tinggal di Huta Hasorangan.  
Marbabo

                                                           Sumber foto : northsumatra.info


Nilai-nilai luhur tersebut juga tergambar dalam kegiatan masyarakat pada bidang yang lain, terutama pada  bidang pertanian dalam arti yang luas. Mengingat masyarakat kita di Tapanuli Bagian Selatan sebagian besar memiliki mata pencaharian di sektor pertanian, maka nilai-nilai kerjasama, saling membantu,  bergotong royong dalam mengelola pertanian sungguh sangat kental. Sehingga  muncul hubungan kerjasama diantara anggota masyarakat  yang disebut “Marsialap Ari”.  Esensi dari Marsialap Ari adalah bergotong royong secara estapet untuk mengerjakan sawah atau ladang yang dimiliki oleh masing-masing individu dalam kelompok Marsialap Ari. Jumlah anggota kelompok sangat bervariasi, ada yang 5 orang atau bahkan lebih.  Kegiatan Bergotong royong ini ,  bisa  mulai dari pengolahan tanah (mamakkur/manajak), menanam, membersihkan rumput (marbabo), sampai panen (manyabi), atau hanya sebagian saja, misalnya kegiatan panen saja. Marsialap Ari merupakan salah satu bentuk karifan lokal yang dimiliki masyarakat Tapanuli Bagian Selatan.

Dalam konteks pertanian, Marsialap Ari memiliki peran yang sangat strategis . Marsialap Ari bisa dianggap sebagai lembaga informal yang telah menjamin tersedianya tenaga kerja pertanian di Tapanuli Bagian Selatan . Bisa dibayangkan jika musim tanam tiba, akan tetapi tenaga terbatas , maka akan menghambat tahapan pengerjaan sawah/ladang .  Oleh karena itu, dengan Marsilap Ari kendala tersebut dapat diatasi secara bersama-sama.  Lebih dari pada  itu, dengan Marsialap Ari akan semakin besar kemungkinan untuk menananam secara serentak. Dengan tanam serentak tentu  akan meminimalisasi potensi kerugian-kerugian  oleh hama atau penyakit  yang diakibatkan pola tanam yang tidak serentak.  Tentunya dengan tanam serentak, maka distribusi air untuk musim tanam dapat lebih merata.  Selanjutnya, kelompok Marsialap Ari dapat juga difungsikan sebagai “agen perubahan” dalam rangka penyampaian informasi-informasi baru tentang pertanian oleh para Penyuluh Pertanian Lapangan. Melalalui pemberdayaan kelompok Marsialap Ari ini  maka  para PPL dapat bekerja lebih efisien di lapangan.  Kemudian kelompok Marsialap Ari bisa menjadi cikal bakal dalam pembentukan kelompok tani-kelompok tani di Huta Hasorangan.  Jika para petani kita telah memiliki kekuatan dan ketangguhan dalam kelompoknya, maka ketahanan pangan di huta hasorangan akan semakin mantap.

Lubuk Larang di Mandailing Natal
Sumber Photo : mandailing online

Disadari bahwa, seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi dan informasi, nilai-nilai luhur atau kearifan lokal yang ada selama ini yang ada di huta hasorangan mulai redup.  Namun, jika nilai-nilai itu ternyata memberi maslahat yang lebih besar bagi masyarakat kita, maka Revitalisasi nilai-nilai “Marsialap Ari” dalam bidang pertanian,  harus terus dijaga keberadaannya di tengah-tengah masyarakat kita. Lubuk Larangan di daerah Mandailing Natal merupakan salah satu contoh kearifan lokal yang bisa dikatakan berhasil dipertahankan.

Sebagai perbandingan, masih terdapat beberapa kearifan lokal yang  masih bertahan sampai sekarang antara lain :
1.   AWIG-AWIG (Lombok Barat dan Bali): Awig-Awig memuat aturan adat yang harus dipenuhi setiap warga masyarakat di Lombok Barat dan Bali, dan sebagai pedoman dalam bersikap dan bertindak terutama dalam berinteraksi dan mengelola sumberdaya alam & lingkungan .
2.   REPONG DAMAR (Krui-Lampung Barat): Repong Damar atau hutan damar, merupakan model pengelolaan lahan bekas lading dalam bentuk wanatani yang dikembangkan oleh masyarakat Krui di Lampung Barat, yaitu menanami lahan bekas lading dengan berbagai jenis tanaman, antara lain damar, kopi, karet, durian.
3.  HOMPONGAN (Orang Rimba-Jambi): Hompongan merupakan hutan belukar yang melingkupi kawasan inti pemukiman Orang Rimba (di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi) yang sengaja dijaga keberadaannya yang berfungsi sebagai benteng pertahanan dari gangguan pihak luar.
4.   TEMBAWAI (Dayak Iban-Kalimantan Barat): Tembawai merupakan hutan rakyat yang dikembangkan oleh masyarakat Dayak Iban di Kalimantan Barat, yang didalamnya terdapat tanaman produktif, seperti durian.
5.   SASI (Maluku): Sasi merupakan aturan adat yang menjadi pedoman setiap warga masyarakat Maluku dalam mengelola lingkungan termasuk pedoman pemanfaatan sumber daya alam.
6.  PAMALI MAMANCING IKAN (Desa Bobaneigo-Maluku Utara): Pamali Mamancing Ikan merupakan aturan adat yaitu larangan atau boboso. Pamali Mamancing Ikab ini secara yurisdiksi terbatas pada nilai-nilai adat, dan agama, tetapi konsep property right ini terbentuk dari pranata sosial masyarakat yang telah berlangsung sejak lama dalam mengatur pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut.
7.   SIMPUK MUNAN/LEMBO (Dayak Benuaq-Kalimantan Timur): Simpuk Munan atau lembo bangkak merupakan hutan tanaman buah-buahan (agroforestry) yang dikembangkan oleh masyarakat Dayak Benuaq di Kalimantan Timur.
(Sumber : Kompilasi dari beberapa sumber)

@@@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar