Selasa, 13 Maret 2012

Dalihan Na Tolu Sebagai Kearifan Lokal Versus Pelaksanaan Demokrasi Pada Masyarakat Tapanuli Bagian Selatan


Oleh:  Mahmulsyah Daulay

Memperhatikan judul artikel di atas, penulis bukan bermaksud mengadakan adu tanding pada dua konsep  nilai antara Dalihan Na Tolu dengan Demokrasi. Akan tetapi mencoba memahami bahwa sesungguhnya  kedua konsep tersebut  bisa menjadi penyeimbang bagi yang lain.  Dalihan Na Tolu, lahir tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat etnis Batak termasuk dalam hal ini Masyarakat Tapanuli Bagian Selatan,  yang sarat dengan nilai-nilai kekerabatan . Sedangkan demokrasi  pertama kali diperkenalkan oleh Aristoteles pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di kota Yunani Kuno khususnya Athena.  Inti dari demokrasi adalah persamaan hak dan kedudukan dari setiap warga negara di dalam sebuah negara yang demokratis.

Saat sekarang,  negeri kita tercinta Indonesia telah menjadi salah satu negara demokrasi  terbesar di dunia. Hal itu di tandai adanya kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan berpolitik. Sebagai warga negara masing-masing orang punya hak  untuk berperan aktif baik sebagai eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Pada saat yang sama Dalihan Na Tolu juga sampai saat ini masih menjadi kerangka dasar kekerabatan masyarakat Tapanuli Bagian Selatan. Hal ini kelihatan jelas dalam kehidupan sehari-hari, terutama pada acara adat horja siriaon (perkawinan dan mendirikan rumah) dan siluluton (kematian).

Pertanyaannya adalah, apakah  Dalihan Na Tolu memiliki nilai-nilai demokrasi..?  Jika di renungkan secara mendalam,  maka dalam konsep Dalihan Na Tolu terdapat filosofi yang sarat  makna. Tiga unsur, kelihatannya  erat hubungannya dengan proses dan cara pengambilan suatu keputusan  di tengah masyarakat agar lebih efektif  terbuka dan seimbang. Terdapat dinamika yang harmonis antara  unsur yang satu terhadap dua unsur yang lain.  Dinamika antar unsur yang harmonis inilah tersimpan nilai-nilai demokrasi yang riil dan berkembang secara alamiah dan telah berlangsung lama sebagai dasar kekerabatan pada masyarakat Tapanuli Bagian Selatan. Selanjutnya Dalihan NaTolu memiliki budaya musyawarah, dimana perbedaan pendapat sangat di hargai. Perdebatan sebagai akibat perbedaan pendapat dalam musyawarah  tidak akan menemui jalan buntu atau mengakibatkan perselisihan karena di dasari suatu tujuan untuk mencapai  mufakat dan dilandasi nilai-nilai  gotong-royong.  Sejumlah ungkapan tradisional dapat meredam perselisihan serta membangkitkan semangat kegotong-royongan.  Beberapa ungkapan-ungkapan tradisional tersebut  antara lain :
Sahata sa oloan
Sapangambe sapanaili
Satahi dohot dongan
Maroban sonang pangarohai

Songon siala sampagul
Sai rap tu ginjang rap tu toru
Muda malamun saulak lalu
Muda magulang sai rap margulu

Tali nipatali-tali
Baen ihot ni simbora
Tahi nipatahi-tahi
Betak i dalan mamora
Berikutnya,  setiap unsur dalam Dalihan Na Tolu, pasti memiliki kahanggi, anak boru dan mora.  Artinya, saat tertentu suatu kerabat bisa menjadi mora,  pada saat yang lain menjadi anak boru,  kemudian saat yang lain lagi menjadi kahanggi.  Sehingga peranan suatu kerabat dalam masyarakat pun dinamis, tidak terpaku hanya pada satu unsur saja, tapi mencakup tiga unsur.  Tentunya dinamika ini dapat terjadi karena adanya proses perkembangan kekerabatan antara lain melalui hubungan perkawinan.     Dengan demikian kiranya tidak berlebihan kalau Dalihan Na Tolu disebut tidak mengenal kasta, tidak mengenal kelompok bangsawan dan rakyat jelata. Kalaupun di Tapanuli Bagian Selatan ada sebutan Raja, hal itu bukanlah dalam arti menguasai/kekuasaan. Pengertian Raja lebih  di tekankan dalam arti sikap watak dan tindakan, yakni seseorang yang bijaksana, adil, pengasih dan penolong serta menjunjung tinggi adat dan kebiasaan hidup.  

Pertanyaan berikutnya adalah, apakah demokrasi sejalan dengan  nilai-nilai Dalihan Na Tolu di Tapanuli Bagian Selatan? Pelaksanaan demokrasi di Tapanuli Bagian Selatan sadar atau tidak telah memberi pengaruh terhadap keseimbangan “Tungku yang Tiga”. Terutama pada saat ada pesta demokrasi, baik pemilu maupun pemilukada.  Dengan banyaknya pilihan partai politik,  maka satu kerabat bisa memiliki pandangan politik yang beragam. Hal ini tidak jarang memberikan gesekan-gesekan yang cenderung membuat hubungan unsur-unsur di masyarakat menjadi disharmoni.  Jika hal ini terus berlanjut, maka dikhawatirkan nilai-nilai kekerabatan, kegotong-royongan, yang merupakan nilai luhur Dalihan Na Tolu makin lama terlupakan oleh masyarakatnya sendiri.  Oleh karena itu mestinya pelaksanaan demokrasi di Tapanuli Bagian Selatan, seharusnya  mempertimbangkan kearifan lokal dalam hal ini Dalihan Na Tolu sebagai inspirasi, sebagai penyeimbang. Sebenarnya tidak saja dalam kegiatan politik, juga dalam pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat oleh pemerintah di daerah.

Jika tidak salah pada bulan Oktober 2012, Kota Padangsidimpuan akan melaksanakan proses demokrasi untuk memilih sepasang pemimpin baru pada periode 2013-2018.  Semoga dalam proses demokrasi ini nanti,  konsep-konsep Dalihan Na Tolu dapat di implementasikan misalnya : MORA : hukum perundang-undangan yang harus dijunjung tinggi. KAHANGGI : sesama partai politik yang harus saling menghormati   dan ANAKBORU : KPU dan Kepolisian sebagai pelayan tapi harus dihargai.

###

Secara ringkas unsur-unsur Dalihan Na Tolu adalah :
1.      Kahanggi, adalah kelompok kerabat satu marga.  Istilah lain yang menyangkut kerabat Kahanggi  antara lain : sa ama sa ina, mar angka mar anggi, sa ama, sa ompu atau sa haturunan.
2.      Anak Boru, kelompok kerabat yang mengambil istri dari kerabat mora.Kelompok ini sangat loyal kepada moranya.  Apapun status sosialnya (pangkat, jabatan), tidak mempengaruhi tugas-tugas anak boru dalam suatu acara adat. Anak boru bekerja keras untuk menjaga harkat dan martabat moranya.
3.      Mora atau Hula-hula, kelompok kerabat ini adalah yang memberi boru untuk di persunting istri oleh anak boru. Kelompok kerabat ini sangat menyayangi anakborunya demikian sebaliknya anak boru menghormati moranya.

Dengan demikian, untuk menjaga dinamika hubungan antar unsur agar selalu  harmonis, ada tiga hal yang selalu menjadi kata kunci. Pertama, Manat Markahanggi, artinya; teliti, hati-hati, bertenggang rasa dan sabar. Sikap dan perilaku ini mutlak di perlukan dalam pergaulan sehari-hari. Kedua Elek Maranak Boru, artinya; pandai mengambil hati, malo mambuat roha, agar yang diambil hatinya senantiasa baik. Hal ini penting karena anak boru adalah tulang punggung bagi segala kegiatan /prosesi adat di kalangan mora. Ketiga, Somba Marmora,  mora dipandang sebagai sumber kehidupan, kesejahteraan lahir bathin bagi anak boru, memiliki charisma maka mora menduduki posisi paling terhormat di antara tiga unsur Dalihan Na Tolu.  Dalam konsep Dalihan Na Tolu hubungan antar unsur berlangsung atas dasar kesimbangan dan keserasian terutama menyangkut hak dan kewajiban.
###
Referensi :
Horja : Adat Istiadat Dalihan Na Tolu Parsadaan Marga Harahap Dohot Anakboruna, 1993
Wikipedia Indonesia,2012

1 komentar:

  1. ada buku tentang ini gak pak? soalnya saya lagi butuh dan sudah lama nyari2nya...

    BalasHapus