Oleh:
Mahmulsyah Daulay
Memperhatikan judul artikel di atas, penulis
bukan bermaksud mengadakan adu tanding pada dua konsep nilai antara Dalihan Na Tolu dengan Demokrasi. Akan tetapi mencoba memahami
bahwa sesungguhnya kedua konsep
tersebut bisa menjadi penyeimbang bagi
yang lain. Dalihan Na Tolu, lahir
tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat etnis Batak termasuk dalam
hal ini Masyarakat Tapanuli Bagian Selatan, yang sarat dengan nilai-nilai kekerabatan . Sedangkan demokrasi pertama
kali diperkenalkan oleh
Aristoteles pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di kota Yunani Kuno khususnya
Athena. Inti dari demokrasi adalah
persamaan hak dan kedudukan dari setiap warga negara di dalam sebuah negara
yang demokratis.
Saat sekarang, negeri kita tercinta Indonesia telah menjadi
salah satu negara demokrasi terbesar di
dunia. Hal itu di tandai adanya kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan
berpolitik. Sebagai warga negara masing-masing orang punya hak untuk berperan aktif baik sebagai eksekutif,
yudikatif, dan legislatif. Pada saat yang sama Dalihan Na Tolu juga sampai saat ini masih menjadi kerangka dasar
kekerabatan masyarakat Tapanuli Bagian Selatan. Hal ini kelihatan jelas dalam
kehidupan sehari-hari, terutama pada acara adat horja siriaon (perkawinan dan mendirikan rumah) dan siluluton (kematian).
Pertanyaannya adalah, apakah Dalihan
Na Tolu memiliki nilai-nilai demokrasi..?
Jika di renungkan secara mendalam,
maka dalam konsep Dalihan Na Tolu
terdapat filosofi yang sarat makna. Tiga
unsur, kelihatannya erat hubungannya
dengan proses dan cara pengambilan suatu keputusan di tengah masyarakat agar lebih efektif terbuka dan seimbang. Terdapat dinamika yang
harmonis antara unsur yang satu terhadap
dua unsur yang lain. Dinamika antar
unsur yang harmonis inilah tersimpan nilai-nilai demokrasi yang riil dan berkembang
secara alamiah dan telah berlangsung lama sebagai dasar kekerabatan pada
masyarakat Tapanuli Bagian Selatan. Selanjutnya Dalihan NaTolu memiliki budaya musyawarah, dimana perbedaan
pendapat sangat di hargai. Perdebatan sebagai akibat perbedaan pendapat dalam
musyawarah tidak akan menemui jalan
buntu atau mengakibatkan perselisihan karena di dasari suatu tujuan untuk
mencapai mufakat dan dilandasi
nilai-nilai gotong-royong. Sejumlah ungkapan tradisional dapat meredam
perselisihan serta membangkitkan semangat kegotong-royongan. Beberapa ungkapan-ungkapan tradisional
tersebut antara lain :
Sahata sa oloan
Sapangambe sapanaili
Satahi dohot dongan
Maroban sonang pangarohai
Songon siala sampagul
Sai rap tu ginjang rap tu toru
Muda malamun saulak lalu
Muda magulang sai rap margulu
Tali nipatali-tali
Baen ihot ni simbora
Tahi nipatahi-tahi
Betak i dalan mamora
Berikutnya,
setiap unsur dalam Dalihan Na
Tolu, pasti memiliki kahanggi, anak boru dan mora.
Artinya, saat tertentu suatu kerabat bisa menjadi mora, pada saat yang lain
menjadi anak boru, kemudian saat yang lain lagi menjadi kahanggi. Sehingga peranan suatu kerabat dalam
masyarakat pun dinamis, tidak terpaku hanya pada satu unsur saja, tapi mencakup
tiga unsur. Tentunya dinamika ini dapat
terjadi karena adanya proses perkembangan kekerabatan antara lain melalui
hubungan perkawinan. Dengan demikian
kiranya tidak berlebihan kalau Dalihan Na Tolu disebut tidak mengenal kasta, tidak
mengenal kelompok bangsawan dan rakyat jelata. Kalaupun di Tapanuli Bagian
Selatan ada sebutan Raja, hal itu bukanlah dalam arti menguasai/kekuasaan.
Pengertian Raja lebih di tekankan dalam
arti sikap watak dan tindakan, yakni seseorang yang bijaksana, adil, pengasih
dan penolong serta menjunjung tinggi adat dan kebiasaan hidup.
Pertanyaan berikutnya adalah, apakah demokrasi sejalan
dengan nilai-nilai Dalihan Na Tolu di
Tapanuli Bagian Selatan? Pelaksanaan demokrasi di Tapanuli Bagian Selatan sadar
atau tidak telah memberi pengaruh terhadap keseimbangan “Tungku yang Tiga”.
Terutama pada saat ada pesta demokrasi, baik pemilu maupun pemilukada. Dengan banyaknya pilihan partai politik, maka satu kerabat bisa memiliki pandangan
politik yang beragam. Hal ini tidak jarang memberikan gesekan-gesekan yang
cenderung membuat hubungan unsur-unsur di masyarakat menjadi disharmoni. Jika hal ini terus berlanjut, maka
dikhawatirkan nilai-nilai kekerabatan, kegotong-royongan, yang merupakan nilai
luhur Dalihan Na Tolu makin lama
terlupakan oleh masyarakatnya sendiri.
Oleh karena itu mestinya pelaksanaan demokrasi di Tapanuli Bagian
Selatan, seharusnya mempertimbangkan
kearifan lokal dalam hal ini Dalihan Na
Tolu sebagai inspirasi, sebagai penyeimbang. Sebenarnya tidak saja dalam
kegiatan politik, juga dalam pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat oleh
pemerintah di daerah.
Jika tidak salah pada bulan Oktober 2012, Kota
Padangsidimpuan akan melaksanakan proses demokrasi untuk memilih sepasang
pemimpin baru pada periode 2013-2018.
Semoga dalam proses demokrasi ini nanti,
konsep-konsep Dalihan Na Tolu
dapat di implementasikan misalnya : MORA :
hukum perundang-undangan yang harus dijunjung tinggi. KAHANGGI : sesama partai politik yang harus saling menghormati dan ANAKBORU : KPU dan Kepolisian sebagai
pelayan tapi harus dihargai.
###
Secara ringkas unsur-unsur Dalihan Na Tolu adalah :
1. Kahanggi, adalah kelompok kerabat satu
marga. Istilah lain yang menyangkut
kerabat Kahanggi antara lain : sa ama sa ina, mar angka mar anggi, sa ama, sa ompu atau sa haturunan.
2. Anak Boru, kelompok kerabat yang
mengambil istri dari kerabat mora.Kelompok
ini sangat loyal kepada moranya. Apapun status sosialnya (pangkat, jabatan),
tidak mempengaruhi tugas-tugas anak boru
dalam suatu acara adat. Anak boru
bekerja keras untuk menjaga harkat dan martabat moranya.
3. Mora atau Hula-hula, kelompok kerabat ini adalah yang memberi boru untuk di persunting istri oleh anak boru. Kelompok kerabat ini sangat
menyayangi anakborunya demikian
sebaliknya anak boru menghormati moranya.
Dengan demikian, untuk menjaga dinamika hubungan
antar unsur agar selalu harmonis, ada
tiga hal yang selalu menjadi kata kunci. Pertama,
Manat Markahanggi, artinya; teliti,
hati-hati, bertenggang rasa dan sabar. Sikap dan perilaku ini mutlak di
perlukan dalam pergaulan sehari-hari. Kedua
Elek Maranak Boru, artinya; pandai
mengambil hati, malo mambuat roha,
agar yang diambil hatinya senantiasa baik. Hal ini penting karena anak boru adalah tulang punggung bagi
segala kegiatan /prosesi adat di kalangan mora.
Ketiga, Somba Marmora, mora dipandang sebagai sumber kehidupan,
kesejahteraan lahir bathin bagi anak boru,
memiliki charisma maka mora menduduki posisi paling terhormat di antara tiga
unsur Dalihan Na Tolu. Dalam konsep Dalihan Na Tolu hubungan antar unsur berlangsung atas dasar
kesimbangan dan keserasian terutama menyangkut hak dan kewajiban.
###
Referensi :
Horja : Adat
Istiadat Dalihan Na Tolu Parsadaan Marga Harahap Dohot Anakboruna, 1993
Wikipedia
Indonesia,2012
ada buku tentang ini gak pak? soalnya saya lagi butuh dan sudah lama nyari2nya...
BalasHapus