Oleh :
Mahmulsyah Daulay
Pada
era tahun 80 an, peranan penyuluh pertanian di kampung asal, tepatnya di wilayah kecamatan Batang Angkola
(saat itu kecamatan Batang Angkola belum
dimekarkan) sangat terasa keberadaannya di tengah-tengah petani. Saat itu kita
sering menjumpai penyuluh dan
masyarakat petani secara bersama-sama
membuat percontohan (pilot proyek) khususnya tanaman
padi. Metodologi ini sangat efektif saat
itu. Para Penyuluh Pertanian saat itu
memperkenalkan program antara lain dengan sebutan, “Tepat cara, untuk cara
pengolahan tanah; Tepat waktu, untuk
penetapan musim tanam; Tepat Dosis (ukuran) untuk pemakaian pupuk. Dengan metedologi yang demikian, banyak masyarakat petani yang mengadopsi
cara-cara bertani seperti yang telah di terapkan dan di laksanakan pada pilot projek.
Sehingga hasil panen petani khususnya padi meningkat. Para penyuluh saat itu bekerja sesuai fungsinya
yakni memberikan penyuluhan tentang pertanian kepada masyarakat petani.
Namun demikian, sejak
diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, dimana tanggung jawab penyelenggaraan penyuluhan diserahkan
kepada pemerintah kabupaten/kota, peran penyuluhan mengalami penurunan yang sangat drastis. Hal ini disebabkan adanya alih
fungsi tenaga penyuluh, tidak
berfungsinya kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan secara optimal,
serta kurangnya dukungan sarana, prasarana dan pembiayaan
penyuluhan, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Sebagai akibatnya, produksi pertanian mengalami stagnasi.
Memperhatikan kenyataan tersebut di atas, langkah awal yang ditempuh Pemerintah untuk membangkitkan kembali penyuluhan pertanian adalah menerbitkan
Undang-Undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan,
dan Kehutanan (UU SP3K). Berdasarkan UU No. 16 Tahun 2006, Pemerintah
melakukan penataan terhadap kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, sarana
dan prasarana, serta pembiayaan penyuluhan.
Tentunya
implementasi dari undang-undang tersebut harus diaktualkan dilapangan. Salah satunya adalah dengan membentuk
kelembagaan penyuluhan sesuai dengan amanah undang-undang. Berdasarkan informasi dari Badan Koordinasi
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Sumatera Utara, bahwa belum semua
Kabupaten/Kota di Sumut yang telah membentuk Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan
Kehutanan (BP4K). Untuk di Wilayah
Tapanuli Bagian Selatan, baru Kabupaten Padang Lawas yang telah membentuk BP4K,
sementara Kabupaten Mandailing Natal, Padang Lawas Utara dan Kabupaten Tapanuli
Selatan serta Kota Padang Sidimpuan belum membentuk. Walaupun secara subtansial ke empat kabupaten/
kota yg disebut terakhir telah menjalankan amanah UU No.16 Tahun 2006.
No
|
Kabupaten / Kota
|
Total Jumlah Desa
|
1
|
Kab.
Mandailing Natal
|
395
|
2
|
Kab.
Tapanuli Selatan
|
497
|
3
|
Kab.
Pa. Lawas Utara
|
386
|
4
|
Kab.
Padang Lawas
|
304
|
5
|
Kota
Padang Sidempuan
|
79
|
|
|
|
|
Jumlah
|
1661
|
Sumber Podes 2008
|
Selanjutnya,
jika mengacu terhadap kebutuhan personil penyuluh, idealnya satu desa ditangani
oleh satu orang personil penyuluh. Dengan
demikian, Tapanuli Bagian Selatan yang terdiri dari 5 Kabupaten /Kota, membutuhkan paling sedikit 1661 personil penyuluh. Hal ini belum lagi
dipilah berdasarkan spesialisasinya (pertanian, perikanan dan kehutanan),
mungkin membutuhkan 2 kali lebih banyak dari 1661 personil.
Mengingat
masyarakat Tapanuli Bagian Selatan masih sebagian besar memiliki mata
pencaharian dari sektor pertanian dalam
arti luas, maka tidak berlebihan apabila
fungsi dan peranan Penyuluh Pertanian saatnya di galakkan kembali dalam hal ini
pemerintah daerah. Sehingga
keluhan-keluhan para petani kita di lapangan akan cepat dan segara ditangani
dan diatasi. Dengan demikian sebagian
dari sekian problema pertanian di daerah
Huta Hasorangan dapat diselesaikan....semoga..
Sumber
: Deptan.go.id
Podes, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar